Pengajian (baca:pengkajian) Zine merupakan kegiatan berkala mengkupas,
mengkaji, berbagi pendapat serta cerita melalui medium zine, newsletter dan
berbagai media lieterasi lainnya.
Diskusi dimulai ketika Ika
Vantiani (Peiniti Pink, Setara Mata dan Puncak Muak) membuka perbincangan
dengan menanyakan kembali makna dari zine serta banyaka penggiat media
alternatif yang tidak menasbihkan medianya sebagi zine,
meskipun mempunyai spirit yang sama. Di Indonesia sendiri ada
kecendrungan zines diproduksi, dikonsumsi dan
didistribusikan oleh scene HC Punk. Fakta
tersebut tidak terlepas dari faktor historis awal kehadiran zines di Indonesia yang masuk melalui
subkultur punk. Selain itu minimnya akses informasi, diskusi dan workshop mengenai zines yang terbilang telat di luar skena HC
Punk, membuat para penggiat skena di luar lingkup tersebut, kurang memiliki kesadaran inisiatif
untuk membuat media komunitasnya sendiri.
Padahal jika dibandingkan
dengan kolektif, penggiat dan distributor zine di negara lain, varian media literasi
di sana terbilang variatf dari musik, sci-fi, kuliner, sastra,
olahraga hingga hal – hal yang berhubungan dengan fetish. Memang tidak bisa kita
pungkiri bahwa banyak individu dan kolektif di Indonesia yang membuat
semacam media komunitas, grafis serta literasi. Namun tidak menamakannya
sebagai zine (walaupun secara etika memiliki
kemiripan RCA dengan zine, namun kebanyakan tidak
menamakan dirinya zine). Namun saya pribadi
memandang hal di atas sudah teralu lelah untuk dibahas.
Selanjutnya beberapa
partisipan pengajian saling mempresentasikan/bertukar cerita mengenai zines
yang diproduksinya. Dimulai dari Bebe (Ceumangat Eaaa dan Doleng zines)
yang menggunakan medium zines untuk mengenalkan program – program
kegiatan IM Books dan Array Madness (Chrust zines) yang memfokuskan pada wacana
kesiapan SDM di Indonesia mengenai legalisasi ganja, manfaat hingga
karakteristik para pengkonsumsinya. Untuk pembahasan Chrust cukup seru, karena
banyak partisipan yang menggiring pada LGN (Lingkar Ganja Nusantara) yang
sedang ramai akhir akhir ini serta menanyakan bagaiman respon dari para pembaca
dan juga LGN. Tak ketinggalan juga Ika
Vantiani berbagi cerita mengenai media dan distribusi yang pernah dijalankannya
yaitu Peiniti Pink (pengarispan dan distibusi media alternatif), Setara Mata
(zines) dan Puncak Muak (zines).
Sebelum Peniti Pink
(selanjutnya disingkat Pepi), sebenarnya sudah ada Taring Padi yang membuat dan
mendistribusikan zines beserta katalognya. Namun dikarenakan disitribusniya
yang terbatas (hanya sekitaran Yogyakarta dan kawan kawan terdekatnya saja)
sehingga menyebbabkan advertnya tidak teralu
besar. Sementara Pepi dalam pola dan environment distribusinya terbilang luas, sehingga
banyak yang menganggap Pepi sebagai penanda disitribusi media alternatif di
Indonesia.
Namun sayangnya diskusi seru
ini sebagian besar hanya dihadiri oleh para penggiat scene
HC Punk. Padahal akan lebih seru dan menarik tatkala mendengar
respon serta cerita dari orang – orang di luarscene HC Punk atau yang masih awam mengenai
wacana ini. Ok, tunggu saja
edisi selanjutnya dari Pengajian Zine yang rencananya akan dihelat pada
bulan Desember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar