Pembuat: Annisa
Rizkiana Rahmasari
Kontak: wildrps@yahoo.com
Twitter: @wildrps
HP: 08562770608
*DISCLAIMER: Konten tulisan ini hanya memuat 41% review zine, sisanya
adalah curahan hati si reviewer yang dipicu oleh desakan deadline kerjaan dan
substansi kimia sebesar 5mg yang konon membuat pengonsumsinya mudah tersulut
amarah. Jadi, jangan salahkan si reviewer. Salahkan para penjual substansi kimia
berbahaya tersebut. Seluruh saran, masukan, kritik, antitesis, kontra-wacana,
komplain, makian, ejekan, atau apapun
mengenai tulisan ini mohon untuk tidak dialamatkan ke Perpus Zine Bandung.
Silahkan hubungi si reviewer di mana pun dia berada—itu pun jika berhasil
menemukannya. Jikalau tidak berhasil menemukan, silahkan buang segala keluhan
anda di WC terdekat*
Avant-Propos
yang Kepanjangan
“Aku membenci pembaca
dan penulis. Aku lebih menyukai penulis yang menulis dengan darahnya” – Fred
Biar gaya sedikit, dan sesuai dengan tradisi menulis para penulis skena zine yang dianggap keren, saya mulai tulisan ini dengan quote di atas. *pasang kacamata hitam*
Biar gaya sedikit, dan sesuai dengan tradisi menulis para penulis skena zine yang dianggap keren, saya mulai tulisan ini dengan quote di atas. *pasang kacamata hitam*
Rasanya udah lama, lama banget
saya nggak pernah sungguh-sungguh nyimak zine baru yang berserakan di sana-sini.
Bukan apa-apa, menurut saya nggak ada zine baru yang sanggup menarik saya untuk
menelisik lebih jauh—kecuali zine yang banyak gambar orang bugilnya. Eh, itu
mah hentai ya. Sori, sori, ketuker. Ya kalo mau jujur sih, memang
sekarang-sekarang ini sedang nggak ada hal menarik apapun buat saya yang udah pengangguran
ini selain film horror, action, perang-perangan, barter bokep, jual beli
apa yang bisa dijual dan dibeli demi urusan perut tanpa harus jadi zombie 9-5 (rule
#1: survive, bro!), buku-buku tebal dengan konten serius (misalnya: “Cult
Horror Films”, cukup serius bukan?) untuk bahan gaya-gayaan, dan terutama, eksplorasi
berbagai jenis substansi mabuk—mulai dari 5% hingga 80%, mulai dari 1mg hingga
5mg. Kalopun sekarang saya ujug-ujug menulis, bukannya tanpa sebab. Dalam
rangka memperingati international zine month yang memicu komitmen
senang-senang Perpus Zine Bandung untuk menghadirkan 1 review zine per hari
selama bulan Juli ini—setelah mendapati baru-baru ini gelaran international
skate day, tak lupa hari buruh internasional setiap 1 Mei yang begitu
familiar bagi kita, saya berandai-andai, mungkinkah bakal ada hari bokep
internasional, yang pasti akan saya rayakan dengan senang hati—saya pun ingin
menumpang eksistensi dengan menulis.
Kembali ke zine, fenomena menarik
yang saya amati salah duanya adalah serbuan zine lucu-lucuan yang kurang berani
terlalu serius dengan leluconnya—rasanya mereka patut malu dengan Joker yang
leluconnya aja bisa ngeledakin rumah sakit—dan zine-zine yang dengan bangga
memproklamirkan diri sebagai zine hipster. Saya nggak punya masalah dengan yang
beginian, sejak saya sendiri pun bisa dikategorikan dalam spesies bernama
hipster ini. Masalahnya, mereka melulu bermain-main dengan ironi. Lagi-lagi
repetisi, hanya kemasannya aja yang berbeda, isi tetaplah repetisi. Ironi lagi,
ironi lagi. Di mana ada repetisi, di situ ada kebosanan. Tidakkah kalian
mengasihani kami yang sudah menderita kebosanan kronis ini? Malahan, menurut
saya, hipster bukanlah lagi istilah tabu. Justru para hipster wajib menunjukkan
kebanggaan mereka sebagai hipster—mengingat untuk jadi hipster tidaklah mudah,
dibutuhkan skill adaptasi tingkat tinggi terhadap tren-tren coolness
baru dan menyerap cepat ribuan informasi level permukaan dalam waktu singkat
yang tidak perlu ditindaklanjuti dengan pendalaman, kontemplasi, apalagi sikap—dengan
mengagendakan aktifitas hore-horean yang lebih inspiratif dan memperkaya
khazanah pengetahuan anak bangsa, nggak melulu mentok indie-indie-an, atau
musik-musik-an, atau ledek-ledek-an semisal meledek golongan tertentu yang
dirasa eksklusif, atau grup ajaib yang saya nggak terlalu kenal macam JKT48.
Saya tinggal di Bandung, hello? Contoh paling dekat, gelaran gegap gempita yang
sebentar lagi akan diadakan Aliansi Hipster Bandung: diskusi black metal dari
dua perspektif yang berbeda kutub dengan referensi yang juga seratus delapan
puluh derajat berbeda. Sangat menarik. *SALAM PAGAN!*
Lalu giliran saya menemukan
varian yang bisa dibilang cukup serius, astaga, saya menemukan pula semakin
banyak kebingungan. Kebingungan ini bermula dari tulisan-tulisan bagus yang
bertebaran di mana-mana. Sayangnya, makna ‘tulisan bagus’ hari ini udah sangat
kabur bagi saya. Banyak ‘tulisan bagus’ tentang musik-seni-traveling-apapun
sampai kaitannya dengan kajian sosio-kultural (ini makhluk gaib macam apa ya?
Kalo ada kata ‘kultural’, pasti itu artinya BUDAYA. Bener kan? Kan? Damn!
Berat, anjis…) di zine dan webzine sekarang-sekarang ini yang ditulis dengan
tata bahasa rapi dan sangat terstruktur, kosa kata elit yang saya yakin nggak
semua orang—terutama yang ber-IQ pas-pasan seperti saya ini—mengerti, sudut
pandang ajaib dan beragam referensi canggih, tapi sesungguhnya mereka tidak
berkata apapun. Kemasan apik dengan ornamen yang begitu mengilap, yang sayangnya
nihil makna. Saya terkadang bener-bener bingung apa yang sesungguhnya ingin
disampaikan oleh si penulis. Dan kalopun saya berhasil menemukan maksud dari si
penulis (setelah saya menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengetes apa emang
bener IQ saya jongkok dengan gagalnya saya memahami tulisan itu), saya baru
sadar si penulis telah menyiksa saya dengan menyampaikan ide yang sebenarnya
sangat sederhana (bahkan kadang nir-makna) melalui pemaparan berbelit,
tempelan-tempelan peristiwa random yang nggak relevan dan seringnya nggak logis,
berikut ribuan nama tokoh radikal, mulai dari Mbah Jenggot sampai Om Kumis. Hipotesis
paling mungkin: barangkali si penulis nggak pengen terlihat bodoh seperti saya.
Lalu saya pun bertanya dalam hati: Ini apa ya?
Begitu saya beralih ke tulisan
yang jauh lebih serius, kekecewaan berikutnya muncul. Tipikal tulisan yang
dibuat se-“aman” mungkin, menghindari potensi konflik atau minimal keberpihakan,
diplomatis, dan pantang menunjukkan emosi. Apalagi ofensif, haram hukumnya. Sekali
lagi, rasanya kita perlu malu kalo harus menengok (konon bagi yang punya dan
membaca) tumpukan buku si filsuf godam yang berani ofensif sepanjang hidupnya
hingga mesti dihina-dina. Ah, emang bener ternyata, era di mana para penulis
zine saling “serang”, tanpa ragu menulis seenaknya dan begitu lepas, dengan
mental “peduli setan” dan muka tembok, sudahlah terlewat….Sumber kekecewaan ini
kemungkinan hanyalah dua: saya yang terlalu old-school, atau memang
beginilah dunia berjalan. Jaman terus berubah, bergegas. Demi pembenaran untuk
“permainan aman” ini, segala hal jadi dibolak-balik, dipereteli lalu disusun
lagi, dilipat-lipat ala origami, dan sebagainya, sementara saya terlalu pemalas
dan pembosan untuk terburu mengikutinya. Atas nama posmodernisme, posstrukturalisme,
dan pos-pos lainnya yang bikin saya semakin kebelet ee’, ini semua sah-sah
saja. Namun, sepakat dengan apa yang diteriakkan Ian Antono di sebuah wawancara
dengan Rolling Stone Indonesia: “Anak muda jaman sekarang itu nggak rock ‘n
roll!”, bagi saya, pemaparan di atas barusan bukanlah suatu kemajuan. Takut
berhadapan dengan konflik dan serba main aman, jelas-jelas sebuah kemunduran.
Rupanya mid-life crisis yang datang terlalu cepat sudah mewabah jadi
tren.
Ini diperparah dengan para
pembuat zine yang seolah terlalu takut untuk menjadi dirinya sendiri. Saya
yakin setiap orang punya sosok penulis yang menjadi inspirasinya. Jangan
khawatir, saya pun begitu. Tetapi satu hal yang saya sadari: saya tidak ingin
jadi mereka. Saya bukan mereka. Saya nggak pengen mencari jalan pintas untuk
dikagumi, dihormati, diakui—intinya, menjadi hebat—dengan jadi fotokopian. Saya
nggak butuh itu. Sebut saya munafik, tapi saya hanya berkata jujur. Saya hanya
bisa menulis seperti adanya saya. Segimana mentok dan enjoy-nya saya. Sekacrut,
sebutut, dan sebusuk apapun yang saya tulis, pada dasarnya saya nggak terlalu
peduli dengan penilaian orang terhadap kapasitas saya. Ya memang sebegitulah
yang saya mampu, dan saya berdamai, serta bergembira dengan fakta itu. Yang
bisa saya lakukan hanyalah berusaha menikmati proses belajar: bagaimana menyampaikan
ide melalui tulisan agar lebih mudah dipahami dan setidaknya dapat
menginspirasi—yang sampai kini pun saya ngerasa belum berhasil. Dan kemampuan
itu tidaklah didapat dengan instan. Tidak jatuh dari langit. Dan bukan genius-gift
yang dimiliki sejak lahir, terkode dalam gen. Kemampuan itu didapat dengan
berlatih, didapat dengan berani salah, berani terlihat jelek, karena semuanya
justru dimulai dari situ. Mengetahui apa yang salah, memacu kita untuk mencari
dan mempelajari yang benar. Mendapati kejelekan, memacu kita untuk mempelajari
penyampaian yang apik. Saya sungguh yakin, penulis-penulis idola saya pun rela
berdarah-darah sepanjang proses menulisnya. Mereka pernah menulis dengan sangat
buruk, lalu memperbaikinya, dan memperbaikinya lagi, mencurahkan hasrat
menulisnya—entah untuk tujuan apapun—sepenuh hati, dengan totalitas yang tidak
setengah-setengah, hingga memiliki skill
mumpuni, dengan berbagai konsekuensi yang mereka tahu akan mereka hadapi. Bagi
saya, itulah keberanian menulis dengan darah.
Sebab dari keluhan panjang saya
di atas—menurut analisis cetek saya—adalah keinginan untuk membinasakan proses
demi pencapaian instan dan obsesi berlebihan terhadap kesempurnaan hingga menjadi
diri sendiri adalah hal terakhir yang para penulis ingin lakukan. Aneh,
mengingat satu-satunya kemewahan dari membuat zine adalah kesempatan untuk menjadi
diri sendiri di tengah hiruk pikuk modernitas yang begitu artifisial. Bilang
kalo saya terlalu berani menuduh, tapi avatar dan imaji palsu yang kita
tampilkan di akun sosial media bukan lagi topeng-topeng tak bertuan yang kita
gunakan untuk bisa berkata jujur, justru sebaliknya, menjadi pemenuhan terhadap
hasrat megalomaniak yang haus pengakuan.
Sebelum saya ngelantur, sok tahu
dan menuduh terlalu jauh, saya cuman pengen bilang, sebagai penikmat zine, saya
nggak punya ekspekstasi muluk-muluk apapun terhadap suatu karya. Ketika
pembuatnya jujur, itu sudah lebih dari cukup.
AU REVOIR #1-3
Datang dari Semarang, zine ini
seketika langsung jadi favorit saya. Pembuat zine ini, Annisa—yang teramat
cantik, hangat, cerdas dan berbakat hingga menarik penggemar yang berjibun dan
mampu membuat para jomblo-kronis-norak skena lokal berkelakuan semakin norak (sekarang
kalian tahu kan kenapa mereka tetap terperosok menjadi jomblo?)—saya kenal
sejak sekitar tiga tahun lalu. Dia sempat membuat zine bernama Gnoem-Gnoem
(baca terbalik: Meong-Meong—barangkali karena kecintaannya pada kucing yang
tiada tanding) yang berisi tumpukan artwork karyanya dan kolase-kolase random
yang sangatlah lucu. Itu belum termasuk zine-zine mini buatannya yang jumlahnya
tak terhitung—sekedar informasi, Annisa turut serta dalam workshop membuat
zine-zine mini macam itu di Bandung Zine Festival 2013 lalu.
Saya pikir Au Revoir punya feel
yang nggak jauh berbeda. Annisa pernah bilang kalo awalnya zine ini hanyalah berisi
lirik-lirik lagu favoritnya, atau bisa juga—menurut estimasi saya—lirik-lirik
lagu yang menggambarkan moodnya saat zine ini dibikin, atau lirik-lirik lagu
yang menurutnya keren dan inspiratif. Bisa jadi kan? Ini terlihat di edisi #1 Au
Revoir yang sepenuhnya berisi lirik lagu dengan sedikit tempelan gambar-gambar
cantik bikinannya. Mulai dari lirik lagu musisi yang bagi saya familiar semacam
Coldplay, Bob Dylan, The Bird and The Bee, sampai ke musisi yang sumpah mampus
saya nggak pernah denger lagu-lagunya seperti OMD (ini apanya OMG?), Midnight
Juggernauts, dan…ah ya, si Bon Iver. Meskipun nggak semuanya, tapi sebagian
besar lirik yang saya dapati memiliki atmosfer sendu. Nggak perlu kita
berspekulasi terlalu jauh mengenai suasana hati si pembuatnya lah! Next.
Menuju Au Revoir #2 dan #3,
nampaknya Annisa nggak lagi terlalu tertarik untuk berbagi lirik lagu, melihat porsi
lirik lagu yang sangat sedikit, dan justru nggak ada sama sekali di edisi #3.
Sepertinya Nisa memutuskan untuk lebih banyak berbicara melalui kolase cantik
dan gambar-gambar yang luar biasa cute. Menurut opini personal saya, yang
jelas-jelas nggak ngerti perkara seni—terakhir kali saya mencoba menggambar
dinosaurus, seorang teman mengira itu adalah sapu lidi—Nisa memang artworker
berbakat. Gambar-gambarnya mungkin bukan tipe gambar realis yang penuh detil
menakjubkan, tetapi kita langsung tahu, Nisa membuatnya dengan sangat jujur dan
sepenuh hati. And, she got her
own signature. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada temen-temen
artworker luar biasa yang saat ini bermunculan, rasanya Nisa nggak perlu punya
skill super-canggih untuk membuat gambarnya berbicara. Menurut saya, itulah
yang terpenting. Karakter gambar-gambar Nisa begitu kuat, sampai-sampai ketika
saya nemuin gambar yang senada, saya akan berkomentar “Wah, ini gambarnya Nisa
banget ya!”. Jujur, saya selalu kagum dengan siapapun yang berhasil ‘memiliki’
karyanya, dan bukan kebalikannya. Artinya, dia sadar betul kalo karya adalah
wadah untuk meninggalkan jejak karakter yang khas, tidak dimiliki siapapun
selain dirinya.
Banyak coretan dan gambar Nisa di
Au Revoir yang sangat personal, misalnya dia membuat list ‘things I like’
versinya sendiri, atau daftar ‘hal-hal yang nggak boleh dilakukan waktu sedih
mendadak’, atau info-info pendek seperti ‘why
we should eat more honey’, semacam itu. Tapi setiap karya punya perjalanan evolusinya
sendiri. Au Revoir bergerak dari zine lirik lagu yang penuh dengan adorably cute sketches ke arah fantasy zine di Au Revoir #3 yang memuat
interview dengan illustrator hebat yang nama-namanya mungkin baru aja kita
denger: Oblyvian, Jean Corace dan Sam Lubicz (ini sungguhan, karya-karya mereka
memang betul-betul inspiring!). Ketiga illustrator ini punya karakter karya
yang jauh berbeda. Pertanyaan-pertanyaan
yang dilontarkan Nisa cukup sederhana—dan tetap manis. Bahkan dia meminta Sam
Lubicz membikin doodle yang mengekspresikan perasaan si Lubicz saat itu.
Cute sekali :D
Belum lagi interview dengan
illustrator bernama Jen Corace yang ilustrasinya sanggup menggiring ingatan saya
pada karya-karya illustrator favorit saya, Ilon Wikland, di buku-buku Astrid
Lindgren—saya memang penggemar dan kolektor bukunya. Saya baru dengar nama
Corace, dan jawaban-jawabannya di interview Nisa terkadang menyentuh. Ketika
Nisa bertanya: Who is your most favorite artist of all time? Corace
menjawab, “Joseph Cornell. It seems obvious to say that he was a master of
creating little worlds you can get step into, but not necessarily lose yourself
in. Which might sound like a slight, but I more mean that they are a glimpse
and not a full view. It’s like peeping in on a secret”. WOW. Apakah
kalian sudah tergerak untuk mencari karya-karya si Joseph Cornell ini melalui
Google?
Apa lagi yang Nisa berikan pada
kita dengan sepenuh hati selain tulisan-tulisan singkat yang terasa manis?
Manis karena nyaris tidak bertendensi apapun selain hanya ingin bercerita
tentang harapan-harapan dan peristiwa sederhana yang begitu berarti baginya.
Apa lagi? Adakah?
Sebagai (sok-sok) penggemar sci-fi
yang nggak pernah bosan berulang kali menonton 2001 demi mencari
inspirasi di kala rutinitas membuat kreatifitas menumpul, dan sadar betul bahwa
The Prestige sesungguhnya mencontek ide jenius Primer, dan dengan
ngototnya menganggap Jabba The Hutt adalah makhluk bikinan George Lucas yang
paling brilian, serta masih terbingung-bingung bagaimana Alfonso Cuaron men-direct
Gravity, saya berharap dengan segenap jiwa dan raga, zine ini akan
mengarah ke fantasi zine. Saya nggak tahu apakah zine semacam ini sudah eksis
sebelumnya di sini, dan juga nggak tahu apakah Nisa setuju atau tidak zine-nya
disebut begitu, sejujurnya….saya nggak terlalu peduli.
Karena, gejala-gejalanya toh
sudah nampak dengan dihadirkannya resensi buku Laika (Nick Abadzis): novel
grafis tentang anjing pertama yang diorbitkan di luar angkasa oleh Soviet,
lengkap dengan kolom kecil tentang Sergei Korolev (desainer rocket dan pesawat
luar angkasa Soviet), dua halaman berisi kolase artikel ‘Rahasia Foto
Antariksa’ yang entah didapat Nisa dari mana, berikut gambar-gambar Nisa
sendiri yang bagi saya…sangat fantastical, semisal gambar alien, hingga
cewek astronot seperti di bawah.
Dan oh ya, dengar-dengar Nisa pun
akan meresensi buku Doraemon seri Big Science di Au Revoir #4. Saya berdoa
dalam hati, semoga akan lebih banyak konten fantasi ataupun sains-fiksi
imajinatif di edisi-edisi Au Revoir berikutnya. Because,
I will be fucking psyched.
-
Reviewer: Ming
waaaa... doodle-na keren! :o
BalasHapusNice...so so girly! Love it :D
BalasHapus