Kamis, 03 Juli 2014

AU REVOIR ZINE #1-3



Pembuat: Annisa Rizkiana Rahmasari
Twitter: @wildrps
HP: 08562770608

*DISCLAIMER: Konten tulisan ini hanya memuat 41% review zine, sisanya adalah curahan hati si reviewer yang dipicu oleh desakan deadline kerjaan dan substansi kimia sebesar 5mg yang konon membuat pengonsumsinya mudah tersulut amarah. Jadi, jangan salahkan si reviewer. Salahkan para penjual substansi kimia berbahaya tersebut. Seluruh saran, masukan, kritik, antitesis, kontra-wacana, komplain, makian, ejekan,  atau apapun mengenai tulisan ini mohon untuk tidak dialamatkan ke Perpus Zine Bandung. Silahkan hubungi si reviewer di mana pun dia berada—itu pun jika berhasil menemukannya. Jikalau tidak berhasil menemukan, silahkan buang segala keluhan anda di WC terdekat*

Avant-Propos yang Kepanjangan

“Aku membenci pembaca dan penulis. Aku lebih menyukai penulis yang menulis dengan darahnya” – Fred 

Biar gaya sedikit, dan sesuai dengan tradisi menulis para penulis skena zine yang dianggap keren, saya mulai tulisan ini dengan quote di atas. *pasang kacamata hitam*

Rasanya udah lama, lama banget saya nggak pernah sungguh-sungguh nyimak zine baru yang berserakan di sana-sini. Bukan apa-apa, menurut saya nggak ada zine baru yang sanggup menarik saya untuk menelisik lebih jauh—kecuali zine yang banyak gambar orang bugilnya. Eh, itu mah hentai ya. Sori, sori, ketuker. Ya kalo mau jujur sih, memang sekarang-sekarang ini sedang nggak ada hal menarik apapun buat saya yang udah pengangguran ini selain film horror, action, perang-perangan, barter bokep, jual beli apa yang bisa dijual dan dibeli demi urusan perut tanpa harus jadi zombie 9-5 (rule #1: survive, bro!), buku-buku tebal dengan konten serius (misalnya: “Cult Horror Films”, cukup serius bukan?) untuk bahan gaya-gayaan, dan terutama, eksplorasi berbagai jenis substansi mabuk—mulai dari 5% hingga 80%, mulai dari 1mg hingga 5mg. Kalopun sekarang saya ujug-ujug menulis, bukannya tanpa sebab. Dalam rangka memperingati international zine month yang memicu komitmen senang-senang Perpus Zine Bandung untuk menghadirkan 1 review zine per hari selama bulan Juli ini—setelah mendapati baru-baru ini gelaran international skate day, tak lupa hari buruh internasional setiap 1 Mei yang begitu familiar bagi kita, saya berandai-andai, mungkinkah bakal ada hari bokep internasional, yang pasti akan saya rayakan dengan senang hati—saya pun ingin menumpang eksistensi dengan menulis.

Kembali ke zine, fenomena menarik yang saya amati salah duanya adalah serbuan zine lucu-lucuan yang kurang berani terlalu serius dengan leluconnya—rasanya mereka patut malu dengan Joker yang leluconnya aja bisa ngeledakin rumah sakit—dan zine-zine yang dengan bangga memproklamirkan diri sebagai zine hipster. Saya nggak punya masalah dengan yang beginian, sejak saya sendiri pun bisa dikategorikan dalam spesies bernama hipster ini. Masalahnya, mereka melulu bermain-main dengan ironi. Lagi-lagi repetisi, hanya kemasannya aja yang berbeda, isi tetaplah repetisi. Ironi lagi, ironi lagi. Di mana ada repetisi, di situ ada kebosanan. Tidakkah kalian mengasihani kami yang sudah menderita kebosanan kronis ini? Malahan, menurut saya, hipster bukanlah lagi istilah tabu. Justru para hipster wajib menunjukkan kebanggaan mereka sebagai hipster—mengingat untuk jadi hipster tidaklah mudah, dibutuhkan skill adaptasi tingkat tinggi terhadap tren-tren coolness baru dan menyerap cepat ribuan informasi level permukaan dalam waktu singkat yang tidak perlu ditindaklanjuti dengan pendalaman, kontemplasi, apalagi sikap—dengan mengagendakan aktifitas hore-horean yang lebih inspiratif dan memperkaya khazanah pengetahuan anak bangsa, nggak melulu mentok indie-indie-an, atau musik-musik-an, atau ledek-ledek-an semisal meledek golongan tertentu yang dirasa eksklusif, atau grup ajaib yang saya nggak terlalu kenal macam JKT48. Saya tinggal di Bandung, hello? Contoh paling dekat, gelaran gegap gempita yang sebentar lagi akan diadakan Aliansi Hipster Bandung: diskusi black metal dari dua perspektif yang berbeda kutub dengan referensi yang juga seratus delapan puluh derajat berbeda. Sangat menarik. *SALAM PAGAN!*

Lalu giliran saya menemukan varian yang bisa dibilang cukup serius, astaga, saya menemukan pula semakin banyak kebingungan. Kebingungan ini bermula dari tulisan-tulisan bagus yang bertebaran di mana-mana. Sayangnya, makna ‘tulisan bagus’ hari ini udah sangat kabur bagi saya. Banyak ‘tulisan bagus’ tentang musik-seni-traveling-apapun sampai kaitannya dengan kajian sosio-kultural (ini makhluk gaib macam apa ya? Kalo ada kata ‘kultural’, pasti itu artinya BUDAYA. Bener kan? Kan? Damn! Berat, anjis…) di zine dan webzine sekarang-sekarang ini yang ditulis dengan tata bahasa rapi dan sangat terstruktur, kosa kata elit yang saya yakin nggak semua orang—terutama yang ber-IQ pas-pasan seperti saya ini—mengerti, sudut pandang ajaib dan beragam referensi canggih, tapi sesungguhnya mereka tidak berkata apapun. Kemasan apik dengan ornamen yang begitu mengilap, yang sayangnya nihil makna. Saya terkadang bener-bener bingung apa yang sesungguhnya ingin disampaikan oleh si penulis. Dan kalopun saya berhasil menemukan maksud dari si penulis (setelah saya menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengetes apa emang bener IQ saya jongkok dengan gagalnya saya memahami tulisan itu), saya baru sadar si penulis telah menyiksa saya dengan menyampaikan ide yang sebenarnya sangat sederhana (bahkan kadang nir-makna) melalui pemaparan berbelit, tempelan-tempelan peristiwa random yang nggak relevan dan seringnya nggak logis, berikut ribuan nama tokoh radikal, mulai dari Mbah Jenggot sampai Om Kumis. Hipotesis paling mungkin: barangkali si penulis nggak pengen terlihat bodoh seperti saya. Lalu saya pun bertanya dalam hati: Ini apa ya?

Begitu saya beralih ke tulisan yang jauh lebih serius, kekecewaan berikutnya muncul. Tipikal tulisan yang dibuat se-“aman” mungkin, menghindari potensi konflik atau minimal keberpihakan, diplomatis, dan pantang menunjukkan emosi. Apalagi ofensif, haram hukumnya. Sekali lagi, rasanya kita perlu malu kalo harus menengok (konon bagi yang punya dan membaca) tumpukan buku si filsuf godam yang berani ofensif sepanjang hidupnya hingga mesti dihina-dina. Ah, emang bener ternyata, era di mana para penulis zine saling “serang”, tanpa ragu menulis seenaknya dan begitu lepas, dengan mental “peduli setan” dan muka tembok, sudahlah terlewat….Sumber kekecewaan ini kemungkinan hanyalah dua: saya yang terlalu old-school, atau memang beginilah dunia berjalan. Jaman terus berubah, bergegas. Demi pembenaran untuk “permainan aman” ini, segala hal jadi dibolak-balik, dipereteli lalu disusun lagi, dilipat-lipat ala origami, dan sebagainya, sementara saya terlalu pemalas dan pembosan untuk terburu mengikutinya. Atas nama posmodernisme, posstrukturalisme, dan pos-pos lainnya yang bikin saya semakin kebelet ee’, ini semua sah-sah saja. Namun, sepakat dengan apa yang diteriakkan Ian Antono di sebuah wawancara dengan Rolling Stone Indonesia: “Anak muda jaman sekarang itu nggak rock ‘n roll!”, bagi saya, pemaparan di atas barusan bukanlah suatu kemajuan. Takut berhadapan dengan konflik dan serba main aman, jelas-jelas sebuah kemunduran. Rupanya mid-life crisis yang datang terlalu cepat sudah mewabah jadi tren. 

Ini diperparah dengan para pembuat zine yang seolah terlalu takut untuk menjadi dirinya sendiri. Saya yakin setiap orang punya sosok penulis yang menjadi inspirasinya. Jangan khawatir, saya pun begitu. Tetapi satu hal yang saya sadari: saya tidak ingin jadi mereka. Saya bukan mereka. Saya nggak pengen mencari jalan pintas untuk dikagumi, dihormati, diakui—intinya, menjadi hebat—dengan jadi fotokopian. Saya nggak butuh itu. Sebut saya munafik, tapi saya hanya berkata jujur. Saya hanya bisa menulis seperti adanya saya. Segimana mentok dan enjoy-nya saya. Sekacrut, sebutut, dan sebusuk apapun yang saya tulis, pada dasarnya saya nggak terlalu peduli dengan penilaian orang terhadap kapasitas saya. Ya memang sebegitulah yang saya mampu, dan saya berdamai, serta bergembira dengan fakta itu. Yang bisa saya lakukan hanyalah berusaha menikmati proses belajar: bagaimana menyampaikan ide melalui tulisan agar lebih mudah dipahami dan setidaknya dapat menginspirasi—yang sampai kini pun saya ngerasa belum berhasil. Dan kemampuan itu tidaklah didapat dengan instan. Tidak jatuh dari langit. Dan bukan genius-gift yang dimiliki sejak lahir, terkode dalam gen. Kemampuan itu didapat dengan berlatih, didapat dengan berani salah, berani terlihat jelek, karena semuanya justru dimulai dari situ. Mengetahui apa yang salah, memacu kita untuk mencari dan mempelajari yang benar. Mendapati kejelekan, memacu kita untuk mempelajari penyampaian yang apik. Saya sungguh yakin, penulis-penulis idola saya pun rela berdarah-darah sepanjang proses menulisnya. Mereka pernah menulis dengan sangat buruk, lalu memperbaikinya, dan memperbaikinya lagi, mencurahkan hasrat menulisnya—entah untuk tujuan apapun—sepenuh hati, dengan totalitas yang tidak setengah-setengah,  hingga memiliki skill mumpuni, dengan berbagai konsekuensi yang mereka tahu akan mereka hadapi. Bagi saya, itulah keberanian menulis dengan darah. 

Sebab dari keluhan panjang saya di atas—menurut analisis cetek saya—adalah keinginan untuk membinasakan proses demi pencapaian instan dan obsesi berlebihan terhadap kesempurnaan hingga menjadi diri sendiri adalah hal terakhir yang para penulis ingin lakukan. Aneh, mengingat satu-satunya kemewahan dari membuat zine adalah kesempatan untuk menjadi diri sendiri di tengah hiruk pikuk modernitas yang begitu artifisial. Bilang kalo saya terlalu berani menuduh, tapi avatar dan imaji palsu yang kita tampilkan di akun sosial media bukan lagi topeng-topeng tak bertuan yang kita gunakan untuk bisa berkata jujur, justru sebaliknya, menjadi pemenuhan terhadap hasrat megalomaniak yang haus pengakuan. 

Sebelum saya ngelantur, sok tahu dan menuduh terlalu jauh, saya cuman pengen bilang, sebagai penikmat zine, saya nggak punya ekspekstasi muluk-muluk apapun terhadap suatu karya. Ketika pembuatnya jujur, itu sudah lebih dari cukup.

AU REVOIR #1-3

Datang dari Semarang, zine ini seketika langsung jadi favorit saya. Pembuat zine ini, Annisa—yang teramat cantik, hangat, cerdas dan berbakat hingga menarik penggemar yang berjibun dan mampu membuat para jomblo-kronis-norak skena lokal berkelakuan semakin norak (sekarang kalian tahu kan kenapa mereka tetap terperosok menjadi jomblo?)—saya kenal sejak sekitar tiga tahun lalu. Dia sempat membuat zine bernama Gnoem-Gnoem (baca terbalik: Meong-Meong—barangkali karena kecintaannya pada kucing yang tiada tanding) yang berisi tumpukan artwork karyanya dan kolase-kolase random yang sangatlah lucu. Itu belum termasuk zine-zine mini buatannya yang jumlahnya tak terhitung—sekedar informasi, Annisa turut serta dalam workshop membuat zine-zine mini macam itu di Bandung Zine Festival 2013 lalu.

Saya pikir Au Revoir punya feel yang nggak jauh berbeda. Annisa pernah bilang kalo awalnya zine ini hanyalah berisi lirik-lirik lagu favoritnya, atau bisa juga—menurut estimasi saya—lirik-lirik lagu yang menggambarkan moodnya saat zine ini dibikin, atau lirik-lirik lagu yang menurutnya keren dan inspiratif. Bisa jadi kan? Ini terlihat di edisi #1 Au Revoir yang sepenuhnya berisi lirik lagu dengan sedikit tempelan gambar-gambar cantik bikinannya. Mulai dari lirik lagu musisi yang bagi saya familiar semacam Coldplay, Bob Dylan, The Bird and The Bee, sampai ke musisi yang sumpah mampus saya nggak pernah denger lagu-lagunya seperti OMD (ini apanya OMG?), Midnight Juggernauts, dan…ah ya, si Bon Iver. Meskipun nggak semuanya, tapi sebagian besar lirik yang saya dapati memiliki atmosfer sendu. Nggak perlu kita berspekulasi terlalu jauh mengenai suasana hati si pembuatnya lah! Next.

Menuju Au Revoir #2 dan #3, nampaknya Annisa nggak lagi terlalu tertarik untuk berbagi lirik lagu, melihat porsi lirik lagu yang sangat sedikit, dan justru nggak ada sama sekali di edisi #3. Sepertinya Nisa memutuskan untuk lebih banyak berbicara melalui kolase cantik dan gambar-gambar yang luar biasa cute. Menurut opini personal saya, yang jelas-jelas nggak ngerti perkara seni—terakhir kali saya mencoba menggambar dinosaurus, seorang teman mengira itu adalah sapu lidi—Nisa memang artworker berbakat. Gambar-gambarnya mungkin bukan tipe gambar realis yang penuh detil menakjubkan, tetapi kita langsung tahu, Nisa membuatnya dengan sangat jujur dan sepenuh hati. And, she got her own signature. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada temen-temen artworker luar biasa yang saat ini bermunculan, rasanya Nisa nggak perlu punya skill super-canggih untuk membuat gambarnya berbicara. Menurut saya, itulah yang terpenting. Karakter gambar-gambar Nisa begitu kuat, sampai-sampai ketika saya nemuin gambar yang senada, saya akan berkomentar “Wah, ini gambarnya Nisa banget ya!”. Jujur, saya selalu kagum dengan siapapun yang berhasil ‘memiliki’ karyanya, dan bukan kebalikannya. Artinya, dia sadar betul kalo karya adalah wadah untuk meninggalkan jejak karakter yang khas, tidak dimiliki siapapun selain dirinya


Banyak coretan dan gambar Nisa di Au Revoir yang sangat personal, misalnya dia membuat list ‘things I like’ versinya sendiri, atau daftar ‘hal-hal yang nggak boleh dilakukan waktu sedih mendadak’, atau info-info pendek seperti ‘why we should eat more honey’, semacam itu. Tapi setiap karya punya perjalanan evolusinya sendiri. Au Revoir bergerak dari zine lirik lagu yang penuh dengan adorably cute sketches ke arah fantasy zine di Au Revoir #3 yang memuat interview dengan illustrator hebat yang nama-namanya mungkin baru aja kita denger: Oblyvian, Jean Corace dan Sam Lubicz (ini sungguhan, karya-karya mereka memang betul-betul inspiring!). Ketiga illustrator ini punya karakter karya yang jauh berbeda.  Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Nisa cukup sederhana—dan tetap manis. Bahkan dia meminta Sam Lubicz membikin doodle yang mengekspresikan perasaan si Lubicz saat itu. Cute sekali :D

Belum lagi interview dengan illustrator bernama Jen Corace yang ilustrasinya sanggup menggiring ingatan saya pada karya-karya illustrator favorit saya, Ilon Wikland, di buku-buku Astrid Lindgren—saya memang penggemar dan kolektor bukunya. Saya baru dengar nama Corace, dan jawaban-jawabannya di interview Nisa terkadang menyentuh. Ketika Nisa bertanya: Who is your most favorite artist of all time? Corace menjawab, “Joseph Cornell. It seems obvious to say that he was a master of creating little worlds you can get step into, but not necessarily lose yourself in. Which might sound like a slight, but I more mean that they are a glimpse and not a full view. It’s like peeping in on a secret”. WOW. Apakah kalian sudah tergerak untuk mencari karya-karya si Joseph Cornell ini melalui Google?

Apa lagi yang Nisa berikan pada kita dengan sepenuh hati selain tulisan-tulisan singkat yang terasa manis? Manis karena nyaris tidak bertendensi apapun selain hanya ingin bercerita tentang harapan-harapan dan peristiwa sederhana yang begitu berarti baginya. Apa lagi? Adakah?

Sebagai (sok-sok) penggemar sci-fi yang nggak pernah bosan berulang kali menonton 2001 demi mencari inspirasi di kala rutinitas membuat kreatifitas menumpul, dan sadar betul bahwa The Prestige sesungguhnya mencontek ide jenius Primer, dan dengan ngototnya menganggap Jabba The Hutt adalah makhluk bikinan George Lucas yang paling brilian, serta masih terbingung-bingung bagaimana Alfonso Cuaron men-direct Gravity, saya berharap dengan segenap jiwa dan raga, zine ini akan mengarah ke fantasi zine. Saya nggak tahu apakah zine semacam ini sudah eksis sebelumnya di sini, dan juga nggak tahu apakah Nisa setuju atau tidak zine-nya disebut begitu, sejujurnya….saya nggak terlalu peduli. 

Karena, gejala-gejalanya toh sudah nampak dengan dihadirkannya resensi buku Laika (Nick Abadzis): novel grafis tentang anjing pertama yang diorbitkan di luar angkasa oleh Soviet, lengkap dengan kolom kecil tentang Sergei Korolev (desainer rocket dan pesawat luar angkasa Soviet), dua halaman berisi kolase artikel ‘Rahasia Foto Antariksa’ yang entah didapat Nisa dari mana, berikut gambar-gambar Nisa sendiri yang bagi saya…sangat fantastical, semisal gambar alien, hingga cewek astronot seperti di bawah.


Dan oh ya, dengar-dengar Nisa pun akan meresensi buku Doraemon seri Big Science di Au Revoir #4. Saya berdoa dalam hati, semoga akan lebih banyak konten fantasi ataupun sains-fiksi imajinatif di edisi-edisi Au Revoir berikutnya. Because,
I will be fucking psyched.


Reviewer: Ming

2 komentar: