Meningkatnya standar
pelayanan moda transportasi Kereta Api Kelas Ekonomi, ternyata memakan korban,
khususnya bagi orang – orang egois yang memiliki tingkat kecanduan yang tinggi
akan rokok, termasuk saya. Biasanya, saya mengusir kebosanan dalam perjalanan
ke luar kota dengan merokok. Namun dengan adanya larangan merokok di dalam
kereta, sudah cukup mengubur keinginan saya untuk merokok. Baca buku? Malas
juga untuk membaca buku, apalagi saya tidak kuat untuk membaca dalam kondisi
kereta yang sedikit berguncang akibat laju yang cepat. Melihat pemandangan?
Namanya juga kereta malam, gimana mau lihat pemandangan? Tidur? Belum ngantuk tuh.
Daripada bingung mau
ngapain, akhirnya saya memilih untuk membaca/ mengapresiasi beberapa bacaan
yang saya dapatkan di Jogja Zine Fest kemarin (5 Juli 2014. Ket). Beberapa ada zine yang menurutku menarik, namun ada
juga yang menurutku tidak spesial. Salah satu yang menurutku menarik dan patut
untuk diulas, yaitu Zine Komik yang berjudul Siksa Anak Soleh (Cut and Rescue:
2013). Cover- nya mengingatkanku akan
poster – poster film di kala Bioskop Palaguna masih berjaya. Cukup dimengerti,
karena si penerbit yaitu Cut and Rescue meruapakan kelompok penerbit visual
yang masih berafiliasi dengan Ruang Rupa. Maka tak heran, penggunaan citraan
lama amat lekat dalam proses kreatif si mereka.
Menariknya, si kreator
(yakni Acsan Rafsan Yuono dan Mario Julio) dengan berani memainkan citra para
tokoh – tokoh di Komik Karma dan Soleh serta Komik Neraka, yang kalau gak salah dikreatori oleh Tatang
S.(tolong koreksi apabila saya salah).
Ngomong
– ngomong tentang Komik Karma dan Saleh, ternyata
masa kanak - kanak saya amat lekat dengan komik tersebut. Komik Karma dan Saleh
dalam keluarga saya merupakan komik yang sakral dalam proses pendidikan budi
pekerti orang tua – anak. Maka tak heran komik tersebut mengalami proses
berpindah tangan serta turun temurun di keluargaku, dari Pakde (kakak ibuku),
Bude (kakak ibuku), lalu ke Ibuku, anak Bude (keponakan ibuku), kakaku, hingga
ke saya sendiri.
Dalam proses pendidikan
budi pekerti di keluarga saya, Komik Karma dan Saleh mengajarkan kita untuk
berusaha berbuat baik, salah satunya menghargai sesama manusia. Namun, citra
yang coba ditampilkan komik tersebut, justru kurang relevan dengan kondisi hari
ini. Dimana citra tokoh dalam komik
tersebut, yaitu Saleh digambarkan sebagai anak yang baik, patuh terhadap garis
yang ditentukan oleh kesepakatan masyarakat, seperti bersekolah, bekerja,
menikah, lalu mati. Begitu pula dengan tokoh Karma, namun ada perbedaan
substansi diantara mereka (tokoh Karma dan Saleh). Namun, tokoh Karma memiliki
kecendrungan untuk keluar dari garis yang ditentukan kesepakatan masyarakat,
seperti tidak menjalankan ibadah shalat jumat, keluyuran malam – malam, hingga
mabuk., Perbedaan antara tokoh Saleh
yang bekerja sebagai pengurus koperasi dan dewan keuangan masjid hingga
akhirnya ia mati dan masuk surga. Sementara tokoh Karma yang mendapat
keuntungan untuk mewarisi kekayaan orang tuanya, lalu memiliki hobi berjudi,
mabuk dan bercinta, hinga akhirnya ia mati dan masuk neraka. Masalahnya, hingga
kini stereotype tersebut masih
disepakati oleh masyarakat umum, bilamana seseorang telah berpenampilan sebagai
ustadz, lalu aktif dalam kegiatan di
tempat ibadah, maka orang itu baik. Namun, apabila seseorang berlaku di luar
norma tersebut, maka orang itu jahat. Padahal, tidak sesederhana itu kita
menilai perilaku orang. Justru, komik tersebut menggambarkan dimana mau apapun
citra seseorang, apabila berlaku jahat, ya tetaplah jahat.
.
Citra itulah yang coba
dibantah oleh Komik Siksa Anak Soleh, dimana sebuah perilaku seseorang dinilai
oleh sebuah citra semata. Bukankah, kadang – kadang citra itu menipu? Mungkin,
hal tersebut tak lepas dari kondisi masyarakat hari ini yang sering disebut
sebagai masyarakat tontonan. Sudah ah,
kok jadi sok bijak gini?
-
Reviewer: Audry Rizky Prayoga
Kereta
Kahuripan, Wates - Purworejo
7 Juli 2014
21:14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar