Saya aslinya nggak tahu, ini zine punya siapa, siapa editornya dan siapa saja yang
berpartisipasi di dalamnya, karena saya juga mendapat zine ini dari rekomendasi
seorang teman, yang juga memberikan tautan untuk mengunduhnya. Jadi, secara
fisik saya nggak punya karena fisiknya ada di teman saya (nanti kalau mudik,
saya copy ya! hehe). Yang saya tahu, zine ini adalah persembahan dari Needle ‘n Bitch, sebuah ruang aman dan
nyaman bagi perempuan. Ruang aman dan nyaman yang tidak hanya berfungsi sebagai
hunian, tapi juga sebagai ruang berproses bagi para perempuan karena selama
ini, perempuan selalu jadi makhluk yang dikesampingkan, di tengah tatanan
patriarkis yang menyedihkan. Hiks.
Jika ada orang-orang yang membuat zine untuk
menyalurkan kesenangan, memberitahu kabar, menyampaikan pesan, melecut
semangat, menyuarakan kemarahan, dan lain-lain yang bentuknya ‘menyemangati’
orang lain, itu sudah biasa. Tapi, adakah zine yang dilempar ke publik dan
seketika itu juga, orang yang membacanya jadi membentuk refleksi sedih?
Ternyata ada. Zine itu nggak melulu
melemparkan kesenangan-kesenangan, tapi ada juga zine yang membuat pembacanya
tiba-tiba ingin menangis, bahkan ketika membaca zine, pembacanya bergetar
seluruh di badan, seluruh hati. Jari-jari tremor dan mulai muncul titik-titik
air yang tak pernah diminta alam bawah sadar untuk meluncur turun. Macam orang
yang tiba-tiba ingat mati ketika membaca halaman-halaman majalah mini ‘Hidayah’.
Itu lho, majalah yang menyajikan azab-azab alam kubur, dan mencoba
menakut-nakuti manusia dengan doktrin agama. Oke, ini skip saja. :|
Dan zine macam itu, saya temukan di Sister be Strong. Halaman awal yang sepertinya merupakan editorial, sudah dimulai dengan kisah antara sang editor dengan kawannya yang menelepon di malam buta. Kawannya itu, berbicara tentang kondisinya pasca menikah. Rupanya, pemikiran saya selama ini mengenai ‘pemerkosaan di dalam pernikahan’ itu memang benar-benar terjadi. Kultur patriarkis yang ada di masyarakat ini secara tidak langsung telah menanamkan pemikiran ‘kolektif’ bahwa laki-laki itu adalah pemilik kuasa atas keputusan, dan juga tubuh para perempuan. Laki-laki berhak untuk merepresi perempuan, apalagi jika statusnya sebagai suami. Di halaman awal ini, saya sudah mengerti, akan kemana isi zine ini. Meski di dalam editorial disebutkan bahwa zine tersebut entah kapan akan diterbitkan lagi, tapi saya rupanya jadi menanti-nanti.
Setelah halaman editorial, kisah
“Perempuan Ini…” membuat saya bergetar hebat. Seperti yang saya ceritakan tadi,
jari-jari tiba-tiba terserang tremor
singkat. Hati saya rasanya sakit, membaca kisah tentang seorang perempuan
yang dicampakkan setelah direpresi lelaki. Tapi, getaran hebat itu tidak
berlangsung lama, karena rupanya sang “perempuan yang dicampakkan” itu dapat
melawan dan menyusun strategi untuk memenangkan hak hidupnya kembali. Jadi,
sampai sini saya menyimpulkan dua poin sentral dari Sister be Strong, yaitu
selain menyebarkan empati, zine ini pun melecutkan semangat pembacanya lagi.
Berkali-kali. Cerita yang disuguhkan
masih seputar perempuan. Kita akan dibuat sedih di awal, dan pada akhirnya kita
akan dipaksa untuk bangkit berdiri, setelah merasakan apa yang terjadi pada
para perempuan itu. Di salah satu rubrik, “Fact Sheet” namanya, saya disuguhi
beberapa fakta yang sudah banyak disosialisasikan pada ribuan umat manusia di
Indonesia, tapi sepertinya hanya dianggap sebagai angin lalu. Fakta-fakta
tentang perempuan, aborsi, kehamilan tidak diinginkan, sistem reproduksi, dan
kekerasan dalam perempuan.
Yang membuat saya dapat menjalin
ikatan dengan Sister be Strong mungkin karena cerita-cerita di dalamnya
bukanlah cerita yang bebas dikarang semau-maunya manusia. Saya menebak-nebak,
pastilah cerita yang ada di dalamnya merupakan cerita yang terjadi juga di
kehidupan nyata, mungkin pada ibumu, pada anak perempuanmu, kakak atau adik
perempuan, saudara jauh perempuan, bibimu, nenekmu, bahkan para
perempuan-perempuan masa lalu yang bisa bertahan untuk menceritakan kisahnya.
Kisah-kisah ini bukanlah kisah-kisah baru, sebab masih ada ratusan kisah lain
yang menyeruak untuk minta diceritakan. (Jadi, kalau saya boleh request sama kakak editornya, kalau baca
review ini, please banget dooong Sister be Strong dirilis lagi. Hiks)
Masih banyak cerita yang menanti
ruang untuk membantunya tersebar. Karena, mungkin saja masih banyak perempuan
lain yang tidak bisa bercerita karena takut, malu, tidak menemukan mereka yang
peduli, dan tidak menemukan mereka yang bisa menampung cerita dengan empati.
Di tengah-tengah penulisan review
ini, lagu Mushafear – Dead juga menemani empati-empati itu terbang jadi harapan
yang sama bagi para perempuan. Bunyinya begini.
“Dengan empati aku dengarkan semua keluh
kesahmu. Dengan empati aku dengarkan semua kisah hidupmu. Dengan empati aku
dengarkan, kamu. Duniamu di sana, jauh dari bahagia. Tahukah kamu, aku pun
terluka.”
Sedih saya. Jadi suka nggak kuat,
karena saya orangnya itu ya kalau sudah sedih, sedih saja. Kisah-kisah Sister
be Strong ini mungkin nggak akan bisa dicerna baik-baik sama mereka manusia
atau perempuan yang belum pernah
mengalami kehidupan seperti yang dirasakan para pengirim kisah di Sister be
Strong. Para pengirim kisah ini, didominasi oleh mereka yang berada di tatanan
patriarki dan juga kondisi sosial yang berada di bawah rata-rata. Jadi,
kesakitan mereka itu benar-benar penuh. Yang membuat hebat adalah, bagaimana
Sister be Strong ini menyampaikan kisah mereka dengan apa adanya, eksplisit
tanpa sensor-sensor bahasa yang dibuat untuk menyegarkan mata-mata pembaca yang
tidak mengerti. Justru, yang eksplisit semacam inilah yang bisa membuka mata
para pembaca. Tidak bisa tidak, pembaca akan dipaksa untuk mengerti bahwa,
“Hei, kayak gini lho kondisi saudara perempuan kalian! Dihajar, dimaki,
dihujani pukulan, ditinggalkan! Dan kalian cuma bisa gosip-gosip murahan sambil
nyalon, sambil nongkrong di Setarbak, ngecengin cowok-cowok kaya yang cuma mau
ngenthu sama kalian doang. Cuma peduli sama kalian kalau kalian masih cantik
dan bisa melayani nafsu hewani lelaki-lelaki bejat. Fuck!”
Kira-kira kayak begitu… Saya tidak bisa berpanjang lebar
lagi, karena dari empatpuluh halaman zine ini, kisah-kisah mengalir dan berakhir,
meski di dunia nyata, permasalahan perempuan tidak pernah benar-benar selesai. Lagipula,
saya bingung juga mau bicara apa, karena urusan perempuan ini seakan-akan jadi
urusan yang hanya dimengerti oleh segelintir orang saja. Akan selalu ada
hal-hal menyakitkan yang dialami perempuan, selama patriarki dan pemilah-milah
strata melalui sosialita masih ada.
To all of my mom, my sister, my daughter, my grandmother, my great
grandmother, my girlfriends, my love, be strong…
-
Penasaran juga pengen baca zine ini...
BalasHapus