Rabu, 09 Juli 2014

SIKSA ANAK SOLEH #0

Meningkatnya standar pelayanan moda transportasi Kereta Api Kelas Ekonomi, ternyata memakan korban, khususnya bagi orang – orang egois yang memiliki tingkat kecanduan yang tinggi akan rokok, termasuk saya. Biasanya, saya mengusir kebosanan dalam perjalanan ke luar kota dengan merokok. Namun dengan adanya larangan merokok di dalam kereta, sudah cukup mengubur keinginan saya untuk merokok. Baca buku? Malas juga untuk membaca buku, apalagi saya tidak kuat untuk membaca dalam kondisi kereta yang sedikit berguncang akibat laju yang cepat. Melihat pemandangan? Namanya juga kereta malam, gimana mau lihat pemandangan? Tidur? Belum ngantuk tuh.

Daripada bingung mau ngapain, akhirnya saya memilih untuk membaca/ mengapresiasi beberapa bacaan yang saya dapatkan di Jogja Zine Fest kemarin (5 Juli 2014. Ket). Beberapa ada zine yang menurutku menarik, namun ada juga yang menurutku tidak spesial. Salah satu yang menurutku menarik dan patut untuk diulas, yaitu Zine Komik yang berjudul Siksa Anak Soleh (Cut and Rescue: 2013). Cover- nya mengingatkanku akan poster – poster film di kala Bioskop Palaguna masih berjaya. Cukup dimengerti, karena si penerbit yaitu Cut and Rescue meruapakan kelompok penerbit visual yang masih berafiliasi dengan Ruang Rupa. Maka tak heran, penggunaan citraan lama amat lekat dalam proses kreatif si mereka.
  
Menariknya, si kreator (yakni Acsan Rafsan Yuono dan Mario Julio) dengan berani memainkan citra para tokoh – tokoh di Komik Karma dan Soleh serta Komik Neraka, yang kalau gak salah dikreatori oleh Tatang S.(tolong koreksi apabila saya salah). 
 
Ngomong – ngomong tentang Komik Karma dan Saleh, ternyata masa kanak - kanak saya amat lekat dengan komik tersebut. Komik Karma dan Saleh dalam keluarga saya merupakan komik yang sakral dalam proses pendidikan budi pekerti orang tua – anak. Maka tak heran komik tersebut mengalami proses berpindah tangan serta turun temurun di keluargaku, dari Pakde (kakak ibuku), Bude (kakak ibuku), lalu ke Ibuku, anak Bude (keponakan ibuku), kakaku, hingga ke saya sendiri. 

Dalam proses pendidikan budi pekerti di keluarga saya, Komik Karma dan Saleh mengajarkan kita untuk berusaha berbuat baik, salah satunya menghargai sesama manusia. Namun, citra yang coba ditampilkan komik tersebut, justru kurang relevan dengan kondisi hari ini. Dimana citra  tokoh dalam komik tersebut, yaitu Saleh digambarkan sebagai anak yang baik, patuh terhadap garis yang ditentukan oleh kesepakatan masyarakat, seperti bersekolah, bekerja, menikah, lalu mati. Begitu pula dengan tokoh Karma, namun ada perbedaan substansi diantara mereka (tokoh Karma dan Saleh). Namun, tokoh Karma memiliki kecendrungan untuk keluar dari garis yang ditentukan kesepakatan masyarakat, seperti tidak menjalankan ibadah shalat jumat, keluyuran malam – malam, hingga mabuk.,  Perbedaan antara tokoh Saleh yang bekerja sebagai pengurus koperasi dan dewan keuangan masjid hingga akhirnya ia mati dan masuk surga. Sementara tokoh Karma yang mendapat keuntungan untuk mewarisi kekayaan orang tuanya, lalu memiliki hobi berjudi, mabuk dan bercinta, hinga akhirnya ia mati dan masuk neraka. Masalahnya, hingga kini stereotype tersebut masih disepakati oleh masyarakat umum, bilamana seseorang telah berpenampilan sebagai ustadz, lalu aktif dalam kegiatan di tempat ibadah, maka orang itu baik. Namun, apabila seseorang berlaku di luar norma tersebut, maka orang itu jahat. Padahal, tidak sesederhana itu kita menilai perilaku orang. Justru, komik tersebut menggambarkan dimana mau apapun citra seseorang, apabila berlaku jahat, ya tetaplah jahat.
.
Citra itulah yang coba dibantah oleh Komik Siksa Anak Soleh, dimana sebuah perilaku seseorang dinilai oleh sebuah citra semata. Bukankah, kadang – kadang citra itu menipu? Mungkin, hal tersebut tak lepas dari kondisi masyarakat hari ini yang sering disebut sebagai masyarakat tontonan. Sudah ah, kok jadi sok bijak gini?

-
Reviewer: Audry Rizky Prayoga
 
Kereta Kahuripan, Wates - Purworejo
7 Juli 2014
21:14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar